“Astaghfirullah..., apa ini? Pak, cepat
ke sini, Pak!” jeritan Bu Kholis membelah sunyi saat ia membuka pintu rumah
pagi itu.
“Ada apa Bu?” tanya Pak Kholis dari dalam
rumah. Jalannya terburu-buru saat mendengar jeritan istrinya.
Akhirnya rasa penasarannya tadi
terjawab setelah melihat apa yang terpampang di depan matanya. Mengertilah
kenapa istrinya sampai menjerit. Tepat di hadapannya tergeletak seonggok mayat anak
yang usianya sekitar tiga tahun dalam keadaan berlumuran darah.
“Ya Allah..., anak siapa ini, Bu?”
“Ibu ndak tau, Pak. Perasaan tadi malam
belum ada”
“Ya sudah, bapak lapor ke Pak RT biar
cepat ditangani. Kasihan kalau tidak cepat-cepat dikubur”
“Ibu ikut, Pak. Ibu takut sendirian di
rumah”
“Ya, cepat”
Pak Kholis dan istrinya bergegas ke
rumah Pak RT yang jaraknya hanya terpaut lima rumah. Tetangga yang tidak tahu
apa-apa menjadi bingung melihatnya.
“Ada apa, Bu? Kok lari-lari gitu?”
tanya seorang tetangga.
“Wah ndak sempet cerita, Bu. Nanti
saja” jawab Bu Kholis tanpa menghentikan langkahnya.
Setelah sampai di rumah Pak RT. Pak
Kholis langsung membuka pagar dan mengucapkan salam di depan pintu.
“Assalamu’alaikum... Pak RT... Pak
RT...!!”
“Aduuuh... Pak RT itu kok lama banget
ya keluarnya, Pak?”
“Mbok ya sabar tho, Bu.
Sedang siap-siap buat ke kantor mungkin”
Sesaat kemudian terdengar langkah kaki
dari dalam.
“Wa’alaikumsalam. Oh, Pak Kholis. Ada
apa ya, Pak? Kok kayaknya panik gitu. Mari duduk dulu, Pak... Bu...”
“Wah,
terimakasih Pak RT. Langsung saja. Ini ada masalah gawat”
“Masalah
apa, Pak?”
“Ehm...
begini, Pak. Tadi saat istri saya membuka pintu rumah, dia menemukan mayat anak
kecil berlumuran darah di teras rumah. Kami tidak tahu itu anak siapa. Dan
kenapa membuangnya di rumah kami,” jawab Pak Kholis memberi penjelasan.
“Ya,
sudah. Sebaiknya kita lihat langsung”
“Baik,
Pak. Kalau bisa cepat diurus dan dikuburkan. Saya tidak tega melihatnya,” pinta
Bu Kholis.
“Kita
lihat saja dulu” kata Pak RT.
Segera
saja Pak RT mengikuti ke rumah Pak Kholis. Setelah melihat keadaan mayat anak itu,
Pak RT langsung memutuskan dan menyuruh Bu Kholis untuk menghubungi polisi.
@@@
Pihak
rumah sakit telah melakukan beberapa tes autopsi, dan ketika akan menguburkan
mayat anak itu, tiba-tiba Bu Kholis meminta agar dirinya saja yang mengurus biaya
pemakamannya. Setelah mendapat persetujuan, Bu Kholis pun membawanya pulang.
Hari
yang tadinya tenang dan indah berubah menjadi tegang. Di rumah Pak Kholis
banyak para tetangga yang membantu persiapan pemandian mayat. Tapi saat Bu
Kholis memangku anak itu untuk dimandikan. Terjadi kejanggalan. Tangan anak itu
refleks menyentuh pipi Bu Kholis dan di berkata, “Ibu...”
Seketika
saja ibu-ibu yang melihat menjerit histeris. Tapi tidak dengan Bu Kholis.
Naluri keibuannya sangat kuat. Entah mengapa ada ikatan batin dengan anak itu.
Maklum saja, selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Pak Kholis, Allah belum
juga memberikan keturunan.
“Ibu...
Alif kangen Ibu”
“Subhanallah...,
Iya sayang, ibu juga kangen,” sambut Bu Kholis sambil memeluk Alif.
Para
tetangga yang melihat mencoba untuk mengingatkan bahwa itu hanya mayat. Tapi Bu
Kholis tetap bersikukuh dan membawanya ke dalam rumah. Kemudian memakaikan
baju. Dan bercakap-cakap seakan Alif adalah anak kandungnya.
@@@
Selama
beberapa hari, rumah yang tadinya sepi dari suara anak-anak itu menjadi penuh
warna. Ada Alif yang kini menjadi pelengkap rumah tangga Pak Kholis dan
istrinya.
Seakan
tak percaya dengan apa yang terjadi, mereka malah acuh dengan kejadian yang tak
biasa itu. Mayat itu hidup lagi. Dan kini tengah bercanda tawa di tengah
kehangatan keluarga Pak Kholis.
@@@
Sudah
sebulan berlalu...
“Allahu
Akbar..., ndak percaya ya, Pak. Kita sekarang punya anak”
“Alhamdulillah,
Bu. Semoga saja Alif jadi anak sholehah”
“Tapi
ngomong-ngomong sudah jam 09.00 kok Alif belum bangun ya, Bu?”
“Maklum
to, Pak. Namanya juga anak kecil”
“Tapi
biasanya jam segini uda mandi. Dibangunin aja”
“Ya,
Pak,” jawab Bu Kholis sambil menuju ke kamar Alif.
Sesaat
kemudian...
“Aaaarrgh...
Bapak... Alif ini, Pak. Ya Allah, kamu kenapa, Nak?” jerit Bu Kholis sambil
mengguncang-ngguncangkan tubuh Alif yang sudah kaku.
@@@
Jika
Allah berkehendak, manusia pun tidak bisa mengelak dari takdirNya. Allah hanya
menitipkan amanahNya sebentar. Dan kini Dia kembali mengambilnya. Alif, bocah
yang entah dari mana asalnya, yang hidup kembali dengan cara yang di luar
logika manusia.
Setelah
dokter memastikan kembali bahwa Alif benar-benar meninggal. Pak Kholis pun
segera mengurus pemakamannya. Di tengah prosesi pemakaman, Bu Kholis pingsan,
dan segera di gotong ke dalam rumah.
Beberapa
saat kemudian, Bu kholis sadar dari pingsannya. Menatap suami yang setia
menunggu di sampingnya sambil membalurkan minyak angin di sekitar keningnya.
“Pak.
Kalau boleh ibu jujur, sebenarnya dulu...”
“Dulu
memang ada apa, Bu?”
“Ehm...
Sebenarnya dulu ibu pernah hamil di luar nikah. Berhubung dari keluarga ndak
ngijinin untuk menikah dan ndak pengen ibu melahirkan bayi dari
laki-laki itu. Akhirnya...”
“Akhirnya...?”
“Ibu...
Ibu...,” jawab Bu Kholis dengan terbata-bata. “Ibu menggugurkannya saat usia
kandungan 2,5 bulan”
“Astaghfirullah...
Kenapa ibu ngga pertahankan saja kandungan itu?”
“Keluarga
ndak menyetujui, Pak. Saat itu Ibu ndak tahu harus bagaimana. Ibu
masih sekolah dan takut dengan ancaman simbah yang akan mengusir ibu dari
rumah”
“Jujur
saja, Bu. Bapak kecewa dengan kenyataan yang ada. Tapi yang dulu biarlah
berlalu. Sekarang apa yang mau ibu perbuat setelah ini?”
“Ibu
ndak tahu, Pak. Ibu merasa Alif adalah bayangan anak ibu dulu. Anak yang
belum sempat melihat dunia ini. Ibu menyesal, Pak”
“Kalau
ibu mau menyetujui pendapat Bapak. Jangan terus larut dalam masa lalu. Bismillah,
bapak yakin Alif sudah tenang di sana. Setidaknya Alif dan ibu sudah pernah
bertemu. Dan melampiaskan rasa kangen,” hibur pak Kholis sambil memeluk
istrinya.
“Bismillah
ya, Pak”
“InsyaAllah,
Bu. Siapa tahu setelah ini kita benar-benar dipercaya Allah untuk menjaga
amanahNya. Merawat anak-anak kita. Anak yang yang benar-benar nyata lahir dari
rahim Ibu”
“Amin...”
@@@
*)
Diangkat dari mimpiku sendiri. Ketika ketiduran dan lupa berdoa.