Senin, 30 September 2013

Bayangan Anakku*





“Astaghfirullah..., apa ini? Pak, cepat ke sini, Pak!” jeritan Bu Kholis membelah sunyi saat ia membuka pintu rumah pagi itu.
“Ada apa Bu?” tanya Pak Kholis dari dalam rumah. Jalannya terburu-buru saat mendengar jeritan istrinya.
Akhirnya rasa penasarannya tadi terjawab setelah melihat apa yang terpampang di depan matanya. Mengertilah kenapa istrinya sampai menjerit. Tepat di hadapannya tergeletak seonggok mayat anak yang usianya sekitar tiga tahun dalam keadaan berlumuran darah.
“Ya Allah..., anak siapa ini, Bu?”
“Ibu ndak tau, Pak. Perasaan tadi malam belum ada”
“Ya sudah, bapak lapor ke Pak RT biar cepat ditangani. Kasihan kalau tidak cepat-cepat dikubur”
“Ibu ikut, Pak. Ibu takut sendirian di rumah”
“Ya, cepat”
Pak Kholis dan istrinya bergegas ke rumah Pak RT yang jaraknya hanya terpaut lima rumah. Tetangga yang tidak tahu apa-apa menjadi bingung melihatnya.
“Ada apa, Bu? Kok lari-lari gitu?” tanya seorang tetangga.
“Wah ndak sempet cerita, Bu. Nanti saja” jawab Bu Kholis tanpa menghentikan langkahnya.
Setelah sampai di rumah Pak RT. Pak Kholis langsung membuka pagar dan mengucapkan salam di depan pintu.
“Assalamu’alaikum... Pak RT... Pak RT...!!”
“Aduuuh... Pak RT itu kok lama banget ya keluarnya, Pak?”
Mbok ya sabar tho, Bu. Sedang siap-siap buat ke kantor mungkin”
Sesaat kemudian terdengar langkah kaki dari dalam.
“Wa’alaikumsalam. Oh, Pak Kholis. Ada apa ya, Pak? Kok kayaknya panik gitu. Mari duduk dulu, Pak... Bu...”
“Wah, terimakasih Pak RT. Langsung saja. Ini ada masalah gawat”
“Masalah apa, Pak?”
“Ehm... begini, Pak. Tadi saat istri saya membuka pintu rumah, dia menemukan mayat anak kecil berlumuran darah di teras rumah. Kami tidak tahu itu anak siapa. Dan kenapa membuangnya di rumah kami,” jawab Pak Kholis memberi penjelasan.
“Ya, sudah. Sebaiknya kita lihat langsung”
“Baik, Pak. Kalau bisa cepat diurus dan dikuburkan. Saya tidak tega melihatnya,” pinta Bu Kholis.
“Kita lihat saja dulu” kata Pak RT.
Segera saja Pak RT mengikuti ke rumah Pak Kholis. Setelah melihat keadaan mayat anak itu, Pak RT langsung memutuskan dan menyuruh Bu Kholis untuk menghubungi polisi.
@@@


Pihak rumah sakit telah melakukan beberapa tes autopsi, dan ketika akan menguburkan mayat anak itu, tiba-tiba Bu Kholis meminta agar dirinya saja yang mengurus biaya pemakamannya. Setelah mendapat persetujuan, Bu Kholis pun membawanya pulang.
Hari yang tadinya tenang dan indah berubah menjadi tegang. Di rumah Pak Kholis banyak para tetangga yang membantu persiapan pemandian mayat. Tapi saat Bu Kholis memangku anak itu untuk dimandikan. Terjadi kejanggalan. Tangan anak itu refleks menyentuh pipi Bu Kholis dan di berkata, “Ibu...”
Seketika saja ibu-ibu yang melihat menjerit histeris. Tapi tidak dengan Bu Kholis. Naluri keibuannya sangat kuat. Entah mengapa ada ikatan batin dengan anak itu. Maklum saja, selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Pak Kholis, Allah belum juga memberikan keturunan.
“Ibu... Alif kangen Ibu”
“Subhanallah..., Iya sayang, ibu juga kangen,” sambut Bu Kholis sambil memeluk Alif.
Para tetangga yang melihat mencoba untuk mengingatkan bahwa itu hanya mayat. Tapi Bu Kholis tetap bersikukuh dan membawanya ke dalam rumah. Kemudian memakaikan baju. Dan bercakap-cakap seakan Alif adalah anak kandungnya.
@@@
Selama beberapa hari, rumah yang tadinya sepi dari suara anak-anak itu menjadi penuh warna. Ada Alif yang kini menjadi pelengkap rumah tangga Pak Kholis dan istrinya.
Seakan tak percaya dengan apa yang terjadi, mereka malah acuh dengan kejadian yang tak biasa itu. Mayat itu hidup lagi. Dan kini tengah bercanda tawa di tengah kehangatan keluarga Pak Kholis.
@@@
Sudah sebulan berlalu...
“Allahu Akbar..., ndak percaya ya, Pak. Kita sekarang punya anak”
“Alhamdulillah, Bu. Semoga saja Alif jadi anak sholehah”
“Tapi ngomong-ngomong sudah jam 09.00 kok Alif belum bangun ya, Bu?”
“Maklum to, Pak. Namanya juga anak kecil”
“Tapi biasanya jam segini uda mandi. Dibangunin aja”
“Ya, Pak,” jawab Bu Kholis sambil menuju ke kamar Alif.
Sesaat kemudian...
“Aaaarrgh... Bapak... Alif ini, Pak. Ya Allah, kamu kenapa, Nak?” jerit Bu Kholis sambil mengguncang-ngguncangkan tubuh Alif yang sudah kaku.
@@@
Jika Allah berkehendak, manusia pun tidak bisa mengelak dari takdirNya. Allah hanya menitipkan amanahNya sebentar. Dan kini Dia kembali mengambilnya. Alif, bocah yang entah dari mana asalnya, yang hidup kembali dengan cara yang di luar logika manusia.
Setelah dokter memastikan kembali bahwa Alif benar-benar meninggal. Pak Kholis pun segera mengurus pemakamannya. Di tengah prosesi pemakaman, Bu Kholis pingsan, dan segera di gotong ke dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, Bu kholis sadar dari pingsannya. Menatap suami yang setia menunggu di sampingnya sambil membalurkan minyak angin di sekitar keningnya.
“Pak. Kalau boleh ibu jujur, sebenarnya dulu...”
“Dulu memang ada apa, Bu?”
“Ehm... Sebenarnya dulu ibu pernah hamil di luar nikah. Berhubung dari keluarga ndak ngijinin untuk menikah dan ndak pengen ibu melahirkan bayi dari laki-laki itu. Akhirnya...”
“Akhirnya...?”
“Ibu... Ibu...,” jawab Bu Kholis dengan terbata-bata. “Ibu menggugurkannya saat usia kandungan 2,5 bulan”
“Astaghfirullah... Kenapa ibu ngga pertahankan saja kandungan itu?”
“Keluarga ndak menyetujui, Pak. Saat itu Ibu ndak tahu harus bagaimana. Ibu masih sekolah dan takut dengan ancaman simbah yang akan mengusir ibu dari rumah”
“Jujur saja, Bu. Bapak kecewa dengan kenyataan yang ada. Tapi yang dulu biarlah berlalu. Sekarang apa yang mau ibu perbuat setelah ini?”
“Ibu ndak tahu, Pak. Ibu merasa Alif adalah bayangan anak ibu dulu. Anak yang belum sempat melihat dunia ini. Ibu menyesal, Pak”
“Kalau ibu mau menyetujui pendapat Bapak. Jangan terus larut dalam masa lalu. Bismillah, bapak yakin Alif sudah tenang di sana. Setidaknya Alif dan ibu sudah pernah bertemu. Dan melampiaskan rasa kangen,” hibur pak Kholis sambil memeluk istrinya.
“Bismillah ya, Pak”
“InsyaAllah, Bu. Siapa tahu setelah ini kita benar-benar dipercaya Allah untuk menjaga amanahNya. Merawat anak-anak kita. Anak yang yang benar-benar nyata lahir dari rahim Ibu”
“Amin...”

@@@

*) Diangkat dari mimpiku sendiri. Ketika ketiduran dan lupa berdoa.

Minggu, 29 September 2013

Aku Punya Teman Baru


Huh! Hari ini hari minggu. Hari yang biasanya banyak dihabiskan untuk bersenang-senang dan bersantai. Namun hari ini aku marah. Marah pada seisi rumah. Terutama pada Tami. Karena seharian ini Tami mengaturku. Aku tak boleh bermain ke luar rumah. Padahal di luar sana teman-temanku sudah menungguku untuk bermain seperti biasanya.
          Semua berawal saat aku sarapan. Aku heran, tak biasanya Tami di rumah hari minggu begini. Biasanya dia pergi berenang, ke rumah temannya, atau entah bermain kemana.
“Kamu mau jalan-jalan kemana, Tami?” tanya ayah Tami.
“Tami ingin di rumah saja, Pak” jawabnya. “Sudah lama Tami tidak bermain bersama Nene”
Aduh! Gerutuku sambil mengendap-endap berusaha keluar dari pintu belakang. Namun Tami lebih sigap. Segera ditutupnya pintu belakang. Dia mengajakku ke kamarnya.
Kamar Tami sebenarnya nyaman, bersih, luas, dan banyak mainan. Tapi kamar ini seperti penjara bagiku. Karena di kamar ini, Tami akan seenaknya mengatur dan memperlakukan aku semaunya.
Dia memaksaku ikut bermain. Seperti menyuruhku tiduran layaknya seorang pasien. Dan satu lagi permainan yang sangat aku benci, yaitu saat dia mendandani aku seperti putri. Memakaikanku jepit rambut di sana-sini. Menyemprotkan minyak wangi terlalu banyak. Dan sederet perlakuan yang aku tak suka.
Dan sekarang setelah dia puas, dia meninggalkanku begitu saja. Aku keluar dari kamarnya dan melihat Tami sedang menonton film kartun dengan suara keras. Aaaargh, dia anak yang menyebalkan. Itulah yang merusak hari mingguku kali ini. Dan aku marah. Sikap marahku kutunjukkan dengan tak menyentuh makan siangku. Aku malas makan. Kini ku hanya terduduk di tempat tidurku. Melamun tak jelas.
Melihat aku tak menyentuh makan siangku. Giliran ibu yang marah. Akhirnya ibu membawaku keluar rumah dan mengunci pintu dari dalam. Sekarang aku di luar. Bebas. Namun keinginanku untuk bermain dengan teman-temanku hilang entah kemana.
Kutelusuri jalan yang membawaku menuju pasar ikan. Di sana aku bertemu dengan seorang gadis cantik. Saat melihatku matanya langsung berbinar. Dia berlari menemui ibunya.
“Mak, boleh tidak Santi memelihara kucing ini?”
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi kamu harus janji untuk merawatnya dengan baik” jawab ibunya.
“Asyik. Santi sayang emak” ujar Santi sambil memelukku.
Akhirnya, kini aku menemukan teman baru. Aku bahagia menghadapi hari-hariku kini. Bersama dengan keluarga Santi yang baik hati.

Rosya bukan Rapunzel





Rosya suka sekali membuat prakarya. Banyak yang sudah dibuatnya dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Kaleng pensil, hiasan dinding, figura foto, tas mungil, dan banyak lagi. Hampir setiap hari Rosya membuatnya. Namun sayang, Rosya menjadi anak yang pendiam dan tak banyak bergaul. Kegiatannya membuat prakarya itu sudah membuatnya tak beranjak keluar rumah, selain untuk sekolah.

Sebenarnya, Rosya adalah anak yang cantik. Dia memiliki rambut yang indah, hitam, dan panjang. Karena tak jarang sang bunda sering merawat rambut Rosya sambil menemaninya membuat prakarya.

Pada suatu hari, saat di sekolah. Pak guru memberikan tugas prakarya yang dikerjakan berkelompok. Berhubung Rosya sudah sering membuat prakarya, maka dengan mudah dia mengarahkan teman-temanya. Setelah sepakat, kelompok Rosya akan membuat hiasan dinding berbahan kain flanel.

Keesokan harinya, Sarah, Irul, Mita, dan Galih berkumpul di rumah Rosya untuk mengerjakan tugas yang diberikan Pak Guru. Rosya menggambar pola. Sarah dan Mita memotong pola yang sudah selesai digambar. Sedangkan Irul dan Galih menyiapkan alas untuk menempelkan pola-pola nantinya.

Akhirnya tugas itupun selesai dalam waktu dua jam. Ditemani keripik dan es jeruk bikinan ibu Rosya. Rosya mencoba menggantungkannya di tembok kamarnya. Mereka nampak puas melihat hasilnya.

Hari pengumpulan tugas pun datang. Prakarya buatan kelompok Rosya yang mendapat nilai paling tinggi. Pak Guru memutuskan untuk mengikutsertakan kelompok Rosya untuk mewakili lomba bulan depan. Rosya sangat bahagia sekali.

Hari demi hari, bulan demi bulan. Rosya yang dulu pendiam telah berubah. Kini dia mempunyai banyak teman. Namun sayang, selain itu Rosya juga berubah menjadi anak yang sok dan suka mengatur. Dia merasa paling baik yang sudah memberikan piala kejuaraan untuk sekolahnya.

Dandanan rambutnya yang dulu hanya dikuncir ekor kuda. Sekarang juga berubah. Banyak jepit rambut yang menghiasi rambutnya. Kadang di kuncir dua, tak jarang pula di kepang. Dia sering memamerkan keindahan rambutnya dan mencela teman-temannya. Sarah, Irul, Mita, dan Galih, teman-teman sekelompoknya dulu, sedih melihat perubahan sifat temannya itu.
 
Pada suatu hari, Rosya sedang sibuk membuat prakarya di kamarnya. Namun Rosya sudah sangat mengantuk. Dia tertidur sebelum prakarya itu selesai. Tanpa dia sadari, lem mengenai rambut panjangnya.


Paginya saat Rosya bangun. Dia sangat terkejut. Rambut yang selalu dibangga-banggakannya di sekolah terlihat kusut, lengket dan lusuh. Rosya pun menangis. Dengan berat hati, selesai dia mandi ibu mengajaknya ke tempat potong rambut. Rambutnya yang dulu panjang sampai pinggang, kini pendek sudah.

Sesampainya di sekolah, banyak teman-temannya yang menanyakan mengapa rambutnya menjadi pendek. Namun Rosya terlalu malu mengakui kejadian sebenarnya. Dalam hati Rosya mengakui. Mungkin ini semua terjadi karena dia terlalu sombong. Rosya berjanji untuk menjadi anak yang baik dan tak sombong lagi.