PEREKONOMIAN
DI JAWA
PENDAHULUAN
Masyarakat
Jawa memiliki kebudayaan yang khas dan berhubungan sangat erat. Dalam konteks Indonesia,
kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting
karena dimiliki oleh kelompok etnik terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam
memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa
memeluk agama Islam. Sementara itu, persoalan ekonomi sebagai bagian dari
realitas kehidupan masyarakat jawa cukup menarik untuk diperbincangkan.
Secara
sederhana, ekonomi di artikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk
mempergunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya, guna maksud memenuhi
pelbagai rupa kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses
produksi barang dan jasa, penukarannya dan pembagiannya, antara golongan-golongan
masyarakat dan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari.
PERMASALAHAN
a.
Golek Pesugihan
b. Slametan
PEMBAHASAN
a. Golek Pesugihan
Setiap aspek kebudayaan di seluruh dunia pasti
memiliki sisi gelap tersendiri. Kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa
penuh dengan nuansa mistik. Kebudayaan tradisional Jawa sangat dekat dengan
klenik, takhayul, gugon-tuhon, dukun, pesugihan dan jampi-jampi. Salah satu
kebudayaan Jawa tersebut yaitu pesugihan merupakan budaya yang sangat gelap.
Orang-orang memberi sesaji kepada makhluk gaib tertentu, atau melakukan ritual
tertentu, untuk memperoleh kekayaan yang melimpah ruah secara tidak wajar. Pesugihan
berasal dari bahasa Jawa “sugih” yang berarti kaya. Pesugihan biasanya
dikaitkan dengan kekuatan yang tidak manusiawi, dan menuntut pengorbanan,
imbalan bahkan tumbal. Fenomena pesugihan mencerminkan keadaan nyata
perekonomian bangsa Indonesia yang kurang memberi harapan bagi rakyat kecil.
Kehidupan yang berada di bawah garis kemiskinan memaksa rakyat untuk
mempercayai hal gaib seperti pohon-pohon besar, makam, patung dan hantu.
Mungkin
sebagian ritual dan ideologi sekte aliran sesat ini terkait dengan ajaran
Islam. Namun, ajaran untuk mencari kekayaan berlimpah melalui pesugihan
bertentangan dengan konsep keislaman. Perbuatan ini digolongkan sebagai syirik
atau menyekutukan Allah yang dosanya tidak akan diberi pengampunan, karena
termasuk dosa yang sangat besar. Dalam praktek pesugihan, terdapat kerjasama
dan pemberian bantuan dari makhluk dunia lain semisal jin, setan dan lain-lain.
Terdapat imbalan yang harus dibayar sebagai kompensasi hal yang telah
diberikan. Sesajen, mantera, serta ritual khusus harus dilakukan demi sebuah
kerjasama yang perlahan-lahan merusak keimanan terhadap Allah SWT. Pada zaman
sekarang masih ada beberapa orang yang terjebak dan terpedaya oleh hal-hal yang
tidak rasional dan tidak memakai logika. Sampai sekarang pesugihan semacam babi
ngepet, nyupang, tuyul masih terus melekat pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Dari sisi historis, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, dalam kultur
masyarakat telah tertanam faham animisme dan dinamisme. Bahkan dalam proses
penyebaran Islam, khususnya oleh para wali, budaya mistis tersebut tidak
dilawan secara langsung. Tetapi justru dirangkul dan disinkronkan
perlahan-perlahan, sehingga tidak lagi bertentangan dengan akidah keislaman.
Namun,
tidak semua rakyat Indonesia bisa terlepas dari pengaruh dunia mistis yang
terkait dengan makhluk tak kasat mata dari dunia lain tersebut. Kasus adanya
sekte pesugihan di Tegal adalah salah satu bentuk nyata dari penyimpangan
kepercayaan. Kasus ini hanyalah satu dari jenis praktek perdukunan, ajaran
sesat, dan penyimpangan akidah yang sedang dan akan terus berlangsung.
Kehidupan modern dewasa ini semakin keras dan memandang semua hal lewat materi
seringkali membuat orang putus asa. Sifat hedonisme yang menjadi sifat bawaan
manusia mengajarkan untuk mendapatkan kesenangan dan kekayaan tanpa harus
berusaha keras seringkali mengalahkan akal sehat.Banyak rakyat yang hidup di
bawah garis kemiskinan ingin mengubah nasibnya secara cepat. Pesugihan dapat
maknai sebagai sebuah jalan keluar dari perasaan frustrasi, ketegangan dan
keputusasaan akibat sulitnya mengubah nasib secara wajar di tengah persaingan
hidup yang semakin keras.
Dalam
kondisi psikis yang labil, manusia sangat mudah untuk dipengaruhi dan
dimanipulasi oleh orang lain karena akal sehat tidak mampu bekerja dengan baik.
Fenomena pesugihan juga dipengaruhi program-program misteri yang banyak
ditayangkan di televisi swasta kita. Beberapa di antaranya secara
terang-terangan menyajikan segala seluk-beluk tentang pesugihan, termasuk cara
mendapatkannya. Acara-acara tersebut sangat berpotensi merusak mental
masyarakat sehingga cenderung memposisikan makhluk gaib dari dunia lain lebih
tinggi dari dirinya sendiri, bahkan lebih tinggi dari Tuhan. Akibatnya
masyarakat kemudian mencari tempat berlindung, memohon dan meminta keselamatan,
kebahagiaan serta rezeki di luar agama yang dianutnya.
b. Slametan
Dalam tradisi kejawan banyak dijumpai
upacara-upacara ’selamatan’ dengan berbagai perlengkapan ‘ubo rampenya’. Jika
diteliti dengan seksama maka upacara selamatan tersebut merupakan wujud dari
suatu doa. Doa dengan sanepan alias perlambang. Doa bil isyaroh
sebenarnya.
Yang dimaksudkan dengan doa bil isyarah adalah
berdoa dengan diwujudkan dalam berbagai perlambang dan tingkah laku dalam
kehidupan. Contoh yang nyata adalah orang bekerja. Bekerja pekerjaan apa saja,
tentu pekerjaan yang baik dalam arti yang sebenarnya. Dalam bahasa agama
disebut dengan terminologi pekerjaan yang halal. Bekerja jika diniati yang benar
maka merupakan suatu perwujudan dari doa dengan perbuatan nyata.
Dalam tradisi Jawa banyak kita jumpai
upacara-upacara adat yang sebenarnya merupakan doa bil isyarah, doa dengan
wujud perlambang atau sanepan. Misalnya ketika ada orang
hajatan ‘mantenan’ (mengawinkan) anaknya misalnya. Bagi orang Jawa maka tidak
akan ketinggalan pasti ada daun janur, daun beringin dan juga batang tebu. Itu
semua merupakan ungkapan doa dan harapan kepada Allah swt.
Janur di’kirotobosokan’ dengan kata ‘ngejan-ngejan’
(arep-arep=berharap) sedangkan nur artinya cahaya. Maknanya berharap akan
kemuliaan yang merupakan berkah dari Ilahi kepada pengantin berdua. Janur juga
sebagai simbol kelapa, dalam hal ini cengkir yang berarti ngencengke
pikir atau membulatkan tekad. Artinya bagi mempelai berdua diharapkan untuk
membulatkan tekad untuk mengarungi kehidupan baru. Tebu dimaknai antebing
kalbu. Artinya juga sama, ketekadan yang bulat.
Contoh lainnya adalah selamatan mitoni atau ningkebi orang hamil.
Secara umum selamatan mitoni atau ningkebi orang hamil dilaksanakan ketika
kehamilan sudah menginjak usia tujuh bulan. Persediaan yang harus ada adalah
tumpeng, procot, bubur merah putih atau disebut bubur sengkolo, sego (nasi)
golong, rujak sepet (dari sepet sabut kelapa muda), cengkir gading dll.
Semua ‘ubo rampe’ tersebut juga merupakan
doa bil isyaroh, doa dengan perlambang. Perlambang-perlambang itu antara lain
sebagai berikut :
Tumpeng. Tumpeng atau buceng merupakan nasi yang dibentuk
menyerupai kerucut, membentuk seakan-akan gunung kecil. Ini merupakan lambang
permohonan keselamatan. Bagi masyarakat Jawa gunung melambangkan kekokohan,
kekuatan dan keselamatan.
Procot. Sejenis penganan terbuat dai ketan yang dibungkus
daun pisang bulat memanjang. Dinamakan dengan procot dengan harapan lahirnya si
bayi kelak ‘procat-procot’, mudah maksudnya.
Bubur sengkolo. Bubur sengkolo itu merupakan bubur dengan warna
merah dan putih. Merupakan lambang dari bibit asal-muasal kejadian manusia
selepas Bapa Adam dan Ibu Hawa, yaitu diciptakan Allah melalui perantaraan
darah merah dan darah putih dari ibu bapak kita. Harapan dari bubur sengkolo
adalah mudah-mudahan yang punya hajad itu ‘kalis ing sambikolo’ terlepas dari
segala aral bahaya, baik bayinya maupun keluarganya.
Sego atau nasi golong. sego golong merupakan doa agar rejekinya
‘golong-golong’ artinya banyak berlimpah ruah.
Rujak. Dari kirotobosonya menimbulkan arti ’saru yen
diajak’ artinya tidak patut lagi kalau si istri yang lagi hamil tua itu diajak
‘ajimak-saresmi’ lagi demi menjaga si jabang bayi dalam kandungan.
Cengkir. Ngencengake pikir artinya membulatkan tekad untuk
kelak menyambut kehadiran sang anak yang merupakan ‘titipan Ilahi’. Yaitu tekad
untuk memelihara dan mendidik hingga menjadi anak yang berbudi pekeri luhur.
KESIMPULAN
Penghayatan
terhadap nilai-nilai luhur yang merujuk pada kebudayaan Jawa, khususnya
ekonomi, dapat dikatakan merupakan salah
satu cara menjiwai nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam ajaran Islam.
Namun, memang harus dipertegas bahwa peresapan nilai-nilai isalm ke dalam
lapisan inti kebudayaan Jawa belum berakhir. Islam di Jawa adalah proses
islamisasi yang belum ideal, tetapi merupakan proses yang sedang menuju ke titik
terdekat dengan Islam yang Islami (bukan Islam yang Njawani).
Sedikit
tentang berbagai tradisi yang masih hidup pada masyarakat Jawa. Semua itu ternyata merupakan doa dengan
kiasan perlambang atau doa bil isyarah. Jadi jangan cepat-cepat memfonis
tahayul dan sebagainya. Karena para leluhur Jawa dahulu memang penuh kehalusan
dalam ‘pasemon’ untuk mengungkapkan isi hati. Dari sifat itulah yang kemudian
banyak menghasilkan berbagai hasil budaya yang adiluhung misalnya karya batik,
wayang kulit, berbagai tembang dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin
Darori, H.M. MA. Islam
dan Budaya Jawa, Gama
Media, Yogyakarta, 2000, Cet I.
Prawiranegara, Sjafruddin. Sistem
Ekonomi Islam, Jakarta,1967.